Hasil praktek mengarang cerpen, MAFU Almahfudz, XI C IPS, Tahun Pelajaran 2015/2016
Sebuah pondok pesantren yang
terletak di Jember bagian barat, disebelah timur Batalyon Infantri 515 Tanggul,
masyarakat banyak menyebutnya dengan Pesantren Manggisan. Seperti pondok
pesantren pada umumnya, di pesantren ini, pun, diajarkan cara membaca kitab
kuning. Metode yang di pakai adalah metode membaca tanpa makna. Mata pelajaran
inilah yang selalu dianggap masalah oleh santri.
Yuni Zakwan, santri asal Jakarta
ini, walau mempunyai kecerdasan rata-rata, kurang berminat pada pelajaran
membaca kitab. Susi Rohana, santri kelahiran Jember, teman satu kelas Yuni,
pemalu dan penyabar, diam-diam juga tidak suka pada pelajaran membaca kitab.
Satu lagi, Si Dwi, santri yang terkenal disiplin dan apa adanya, memilih
berdiri di muka kelas daripada menghapalkan kitab.
Dalam membaca dan mendalami kitab,
mereka dibimbing oleh Ustadz Slamet. Ustadz senior yang TIDAK menakutkan.
Bahkan, menyegarkan.
Salah satu kegiatan rutin di pesantren
ini adalah mengadakan “Lomba Qiroah Kitab” setiap menjelang libur mauled. Seperti biasa, ustad pembimbing memberikan
batasan-batasan (kisi-kisi) kitab yang akan dilombakan. Semua anggota kelas
menjadi terkejut ketika ternyata kisi-kisinya sangat banyak, apalagi Yuni CS.
Sehari setelah pengumuman lomba
kitab, pengurus pondok pesantren bidang seni dan olah raga, juga memberikan
pengumuman lomba. “Pengumuman, kami dari bidang seni dan olah raga, akan
mengadakan lomba menyanyi dan lomba lari, akan dilaksanakan pada hari sabtu
depan, jam 08:00”. Suasana kelas tambah riuh.
“Bagaimana ini ?. apa yang harus
kita lakukan?. Lomba kitab juga sabtu depan, jam 08:00, lagi. Kitab saja belum
siap. Kalau kita ndak ikut lomba-lomba itu akan di …………”. Yuni bertanya
kepada Dwi dan Susi.
“Iya, bagaimana lagi, lomba-lomba
itu kan kegemaran kita”. Kata Dwi.
“Iya, kita ikuti saja semua, kita
hadapi dengan percaya diri, siapa tahu kita mampu dan menjadi juara”. Kata Susi
malu-malu, dengan maksud menenangkan.
“Syukur kalo kita bisa juara kitab,
kalo tidak…?, kita bisa jadi sasaran omelan pak Ustadz. Bukankah kita
diandalkan untuk lomba kitab…?”. Jawab Yuni dengan nada tinggi dan nafas
terengah-engah. Yuni memang orang yang lama bisa tenang menghadapi banyak hal.
Teman lainnya terkadang memanggilnya dengan si Kepo…!.
“Woles, donk…., tenang saja,
Yun…”. Kata Susi, kembali menenangkan suasana. “Yun…, kamu jangan kemal!
Mari kita ikuti semua lomba itu, semoga kelas ini menjadi juara umum”. Tambah
Susi. “OK…!”. Kata Dwi dan Yuni, bersamaan.
Kemudian mereka merencanakan
strategi menghadapi lomba tersebut.
Yuni membaca kitab sambil berlatih
berlari. Susi berlari sambil menenteng kitab. Sedangkan Dwi berlatih berlari
sambil bernyanyi. Ketiga nya pun bersemangat.
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu
oleh santri. Hari sabtu, 15 Desember 2015. Lomba dimulai jam 08:00. Tiga santri
super sibuk itu mendaftar sebagai peserta tiga lomba yang diadakan. Juri lomba
kitab dipimpin Ustad Slamet. Lomba lari oleh Ustad Hasan. Dan Lomba Nyanyi oleh
Ustad Ali.
Peserta dipanggil sesuai nomor urut
pendaftarannya. Yuni dan Susi berhasil mengikuti lomba dengan baik. Berbeda
dengan Dwi, saat juri memanggilnya untuk lomba kitab, disaat yang sama dia juga
dipanggil untuk lomba nyanyi. Dia bingung harus pilih yang mana. Dwi
berlari-lari ke tempat lomba kitab. Dia balik lagi berlari-lari ke tempat lomba
nyanyi. Padahal dia tidak ikut lomba lari. Sesuai dengan ketentuan lomba; bahwa
tiga kali dipanggil belum hadir, digugurkan dari lomba. Santri yang disiplin
ini, akhirnya digugurkan dari lomba kitab dan lari.
Jam 13:00 semua lomba telah selesai. Kini saatnya Ustad
Syafii mengumumkan juara lomba.
“Lomba lari diraih oleh Yuni Lutviana Zakwan, kelas 2 C”.
Semua santri bertepuk tangan.
“Lomba nyanyi diraih oleh Susi Rohana, kelas 2 C”. Semua
santri kembali bertepuk tangan.
“Lomba kitab di raih oleh teman kita, yang tidak
dikandidatkan sebagai juara, dia yang memiliki nama terpanjang di pesantren
ini, yaitu Tris Nanda Ade Indah Eka Tatia Sari, kelas
2 B”. Tepuk tangan semakin gemuruh.
Para juara kini sudah ada diatas
panggung untuk menerima hadiah. Mereka senang. Mereka akan memberikan kabar
gembira ini kepada orang tua masing-masing.
Ditengah kegembiraan itu, hati Dwi
merasa sedih. Dia merasa sudah mengecewakan pembimbing kitabnya; Ustad Slamet.
Keesokan harinya, Ustad Slamet
masuk dikelas 2 C. Beliau tersenyum dan menyampaikan perasaan hatinya dengan
kata-kata: “ Tahun depan, jika kalian menghadapi lomba yang bersamaan jamnya
seperti kemaren, kalian harus memilih salah satunya. Jangan dipilih semua.
Pilih yang paling mungkin anda memenangkannya. Berlatihlah atas lomba yang akan
diikuti. Tetapi saya sebagai pembimbing kalian, masih bisa lega karena kelas
ini telah menjadi juara nyanyi dan lari. Karena itu, saya akan memberi hadiah
ini kepada Susi dan Yuni.” Kata ustad selamet menutup pertemuan dan
menyerahkan bingkisan kepada Susi dan Yuni.
Sepulang sekolah, dibukalah
bingkisan itu dan isinya adalah sepasang sepatu lari untuk Yuni, dan sepotong
gaun untuk Susi. Hati mereka mendoakan Ustad Slamet, ternyata beliau tidak
ngomel-ngomel, seperti yang mereka duga.
“Tahun depan, Ustad, insyaallah, saya akan
membahagiakan ustad, dengan menjadi juara satu lomba kitab”. Kata Dwi
dalam hatinya.
Catatan: Nama-nama yang
tercantum dalam cerpen ini hanya untuk mengakrabkan cerita. Tidak ada maksud
lainnya. Ini hanya karangan biasa.
menarik dan lucu tad aku suka critanya
BalasHapusHmmh... kalau aku sih Yes !?
BalasHapus>> keep posting :D
Ikuti terus perkembangan santri FU menulis. Insaallah akan diterbitkan berupa BUKU.
BalasHapusIkuti terus perkembangan santri FU menulis. Insaallah akan diterbitkan berupa BUKU.
BalasHapus