Kamis, 14 Februari 2013

Aku Ingin Seperti Asma Nadia

Catatan Admin;
Inilah Penulis Produktif yang Tidak Mempunyai Gelar Kesarjanaan.
Asma Nadia adalah  salah satu penulis best seller yang paling produktif di Indonesia. Dalam waktu 10 tahun ia telah menulis lebih dari 50 buku. Berbagai penghargaan nasional dan
regional di bidang kepenulisan juga telah diraihnya al. Pengarang Terbaik Nasional penerima Adikarya Ikapi Award tahun 2000, 2001, dan 2005, peraih Penghargaan dari Majelis Sastra
Asia Tenggara (Mastera) tahun 2005,  Anugrah IBF Award sebagai novelis islami terbaik (2008), Peserta terbaik lokakarya perempuan penulis naskah drama yang diadakan FIB UI dan Dewan Kesenian Jakarta.
Melalui maling list pembacaasmanadia,  Nadia ikut memberdayakan pembacanya, yang sebagian besar perempuan (sesama istri dan ibu rumah tangga) serta generasi muda untuk terlibat dalam gerakan Indonesia Menulis! Hasil dari gerakan itu adalah lahirnya puluhan antologi yang ditulisnya dengan pembaca dan diterbitkan berbagai penerbit.

Dari milis pembacaasmanadia@yahoogroups.com perempuan kelahiran Jakarta 26 Maret 1972 ini, dibantu Sitaresmi Sidharta, dan moderator milis lain, telah memberikan semangat kepada banyak perempuan untuk membaca, sehingga lahir Klub Buku AsmaNadia (KBA) di berbagai kota di tanah air, sebagai kegiatan alternatif yang cerdas, di mana setiap bulan anggota berkumpul dan berdiskusi tentang buku yang telah mereka baca.

Kiprah penulis yang masa kecilnya dihabiskan di rumah kontrakan sederhana di pinggir rel kereta api ini juga merambah ke dunia Internasional. Ia pernah diundang menghadiri acara kepenulisan  di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tahun 2006 ia menjadi satu dari dua sastrawan muda Indonesia yang diundang untuk tinggal oleh pemerintah Korea Selatan selama 6 bulan. Undangan yang sama diperolehnya dari Le Chateau de Lavigny (2009) untuk tinggal di  Switzerland.
Sebagai pembicara, Nadia pernah diundang untuk al. pada forum Seoul Young Writers Festival dan The 2nd Asia Literature Forum di Gwangju, serta memberikan workshop kepenulisan di berbagai pelosok tanah air, juga kepada pelajar Indonesia di Mesir, Switzerland, Inggris,
Jerman, Roma dan Vatican, serta buruh migran di Hongkong dan Malaysia.
Sekalipun tidak mempunyai gelar kesarjanaan, karena ketika kecil sakit-sakitan (jantung, paru-paru, gegar otak, tumor) ia telah berbicara di hadapan lebih banyak  audience 
termasuk di berbagai universitas ternama di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, ITB, UNPAD, UGM, IPB, Unsyiah, Universitas Brawijaya, dan lain-lain.
Salah satu cerpennya berjudul: Emak Ingin Naik Haji telah difilmkan dan mendapat anugrah
film terpuji dalam Festival Film Bandung. 100% royalti dari buku Emak Ingin Naik Haji Alhamdulillah telah memberangkatkan Ustadz dan Ustadzah yang kurang mampu ke tanah suci, dan semoga kebaikan lain terus bergulir dari buku ini, dengan lebih banyaknya dukungan pembaca. Insya Allah.

Sebagian royalti dari buku-buku yang telah ditulisnya dimanfaatkan untuk mengembangkan RumahBaca AsmaNadia, perpustakaan dan tempat mengasah kreativitas bagi anak dan remaja kurang mampu, yang tersebar di Jakarta: Penjaringan, Depok, Ciledug, Manggarai, Bekasi dan Pulau Lancang Besar (kepulauan seribu), selain di Bogor-Cigombong, 3 lokasi di Cianjur,  Gresik, Jogja, Kebumen, Purwakarta. Luar Jawa: Balikpapan, Pekanbaru, Riau, Samarinda dan Tenggarong, dll.

Saat ini selain merupakan  CEO AsmaNadia Publishing House, penerbitan yang didirikannya setahun lalu, Nadia giat menularkan semangat menulis kepada keluarga Indonesia- bersama suami, dan anak-anaknya yang juga telah diajaknya ikut menulis.

Suaminya: Isa Alamsyah telah menulis buku motivasi berjudul No Excuse! Sementara Putri Salsa (13 th), telah memiliki lima buku yang diterbitkan sejak dia berusia 7 tahun, dan merupakan salah satu penulis cilik best seller saat ini. Sedangkan si bungsu Adam Putra Firdaus  (9 th) baru saja meluncurkan buku pertamanya Mostly Ghostly: Memburu Gosip Hantu-hantu.Road show keluarga penulis sudah dilakukan di Jakarta, Tanggerang, Jogja, Malang, Solo, Bogor, dan Surabaya.
Asma Nadia;

Kamis, 07 Februari 2013

Pesantren Bukan Penjara

Oleh  : M. Shlehuddin, X MAFU
Tulisan sudah di ringkas.


_________________________
Pesantren menurut orang awam adalah lingkunganbelajar mengajar ilmu agama yang jauh pengaruhnya dari dunia luar. Pengertian seperti ini menjadi alasan sebagian orang tua mengapa pesantren bukan tempat yang tepat untuk anaknya. Bahkan menurut kenyataan yang ada, sebagian besar orang tua yang memondokkan anaknya di pesantren karena mereka tidak lagi mampu merawatnya.

Dari pernyataan di atas, tujuan saya menulis adalah menyadarkan orang tua dari pandangan negatif terhadap pesantren. Pesantren bukanlah penjara seperti yang mereka sangkakan. Pesantren bukanlah kampungan.

Mereka menganggap pesantren sebagai kampungan karena mereka menyangka bahwa di pondok pesantren tidak di pelajari Ilmu Umum. Padahal kenyataannya, sudah banyak pesantren di Indonesia yang sudah memasukkan Ilmu/ pendidikan umum ke kurikulumnya. Oleh karena itu jika masih ada orang tua yang berpandangan bahwa pesantren adalah kampungan, berarti mereka telah salah memandang.

Orang bijak berkata " ilmu dunia tanpa ilmu ahirat buta, ilmu ahirat tanpa ilmu dunia pincang". Generasi muda jaman sekarang rata-rata pincang ilmu.

Penyebab lain salah pandang para orang tua adalah bahwa jika seseorang sudah menjadi santri, dia akan akan ketinggalan jaman. Bagaimana mengatasinya..? jawabannya adalah BUKU. Yah... dengan buku dunia luar bisa santri kuasai. Dengan buku dunia bisa di genggam. Lalu jaman mana yang tertinggal.

Wahai para orang tua...! sadarlah. Putra putri mu di pesantren hidup normal. Bukan hidup di penjara.


Tersiratnya Makhroj-Makhroj Cinta Ghozali

Oleh : Nur al'Aini, X MAFU, melalui edit
Note : Tulisan tidak sesuai tema lomba

____________________________
Kisah ini terjadi pada jaman dahulu, kisah cinta yang terjadi antara santri putra dan putri. Maaf apabila kisah ini kurang menarik, banyak salahnya, dan mungkin menyinggung perasaan.

Dahulu ada anak laki yang bandel dan nakal. Begitu nakalnya hingga orang tuanya tidak mampu mengurusnya, sehingga ia dimasukkan ke pesantren. Hepni Ghozali, itulah namanya. Waktu dia didaftarkan di pesantren, dia sudah mengenal seorang perempuan yang sebaya dengannya, dia bernama ULUN (nama diganti). Ulun dan Ghozali sangatlah berbeda. Ulun anak yang rajin, sholehah, pintar, taat agama. Sedangkan Ghozali, dia nakal dan suka meremehkan orang.

Ketika mereka lulus SMP, mereka langsung didaftarkan masuk pesantren. Ghozali ingin mengatakan sesuatu kepada Ulum, tetapi tidak sempat terucap karena Ulun terlebih dulu masuk pesantren. Berbeda dengan Ulun yang rajin pintar, Ghozali adalah pemalas tingkat tinggi, saking pemalasnya dia tidak bisa menyebutkan jumlah huruf hijaiyah. .... Hari-hari Ghozali di pesantren begitu memalukan. Dia sering bolos. Keluar malam. Tidak masuk sekolah dan lain-lain. Kalau tidak dimarahi... yah dia di tindak sama pengurusnya.

Sementara Ulun sangat di sanjung oleh teman santrinya karena kepintarannya. Para Ustadz-pun membanggakannya. Dia menjadi perbincangan para ustadz. (Ust yang mana ya...?), Berita itu di dengar oleh Ghozali, sehingga mulai giat belajar, sampai dia sampai ke pelajaran makhroj-makhroj hijaiyah. Tetapi, Ghozali justru mendengar bahwa salah satu Ustadz*) di pesantrennya menyenangi Ulun.

Terjadilah persaingan antara si Ustadz dan Ghozali.

Ghozali marah ketika suatu hari dia menemukan photo Ulum di dalam buku sang ustadz. Di dalam file photo dalam HP si ustadz juga ada picture Ulun. Kemarahan Ghozali di lampiaskan dengan membuang HP si Ustadz ke sungai.

Kejadian ini di tangani pengurus pesantren. Ghozali di tindak. Dia harus berlari mengelilingi halaman pesantren putri sebanyak 10 kali. (seperti ujian praktek olah raga nih). Dan di dadanya dia dikalungi kertas bertuliskan daftar pelanggarannya.

Ghozali gugup tetapi dia juga senang karena berharap bisa bertemu / menatap Ulun. Santri putri berbisik "kasihan dia". Ghozali terus berlari, hingga dia nelihat Ulun di pojok asrama sambil membaca kitab. Ulum melempar senyum ke Ghozali sehingga hati Ghozali merasa senang, seketika itu dai melemparkan kertas (surat) yang berjudul "makhroj cinta untuk Ulun" yang isinya sebuah kalung dan kata-kata rahasia.

Hari pun berlalu. Liburan pesantren tiba. Ghozali menunggu di gerbang kuning menunggu jawaban Ulun. Ulun datang dan tersenyum sambil menjatuhkan kertas yang bertuliskan __ Kasihku, bersabarlah ! __

"Subhananllah", kata Ghozali

*) Nama Ustadz di rahasiakan.